Senin, 15 Desember 2014


1. 'AMM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Islam merupakan agama yang bersih, dan didalamnya terdapat berbagai macam aturan yang jika kita patuhi, maka akan menjadikan kita bersih pula. Di dalam aturan tersebut ada perintah dan larangan. Dalam perintah dan larangan juga ada berbagai macam ketentuan, yang terkadang bersifat qath’iy dan dzhanniy.
Dalam pengambilan hukum (istinbath), diperlukan ketelitian bagi masing-masing kita agar nantinya tidak salah mengambil hukum.
Ada berbagai macam cara pengambilan hukum, misalnya melalui ijma’, qiyas, istihsan, istishab, mashlahah mursalah, ‘urf, ‘am, dan lain sebagainya.
Sesuai dengan tuntutan akademik, maka di dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas mengenai ‘Am, yang mencakup tentang pengertian, bentuk-bentuk, dan dalalahnya.

B.     Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas di dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan ‘Am?
2.      Bagaimana bentuk-bentuk lafaz ‘Am?
3.      Bagaimana dilalah ‘Am?

C.     Tujuan penulisan
Setelah membaca makalah ini, penulis berharapan agar pembaca dapat memahami tentang :
1.      Untuk mengetahui defenisi atau pengertian ‘Am.
2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk lafaz ‘Asm.
3.      Untuk mengetahui dilalah ‘Am.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian ‘Amm
Al-‘am adalah suatu lafazh yang sengaja dikehendaki oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna  yang benar yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[1]
‘Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah :
الفظ المستفرق لجميع مايصلح له بحسب وضع واحد دفعة
“Lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang tersasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut sekaligus."

            Dengan pengertian lain, al-‘am ialah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya : Al-Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi, semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini, sekali mengucapkan lafal Al-Insanberarti maliputi jenis manusia seluruhnya.
Dapat dimengerti keumuman itu menjadi sifat yang pengertiannya mencakup segala yang dapat dimasukkan ke dalam konotasi lafal. Sedangkan lafal yang hanya menunjukkan beberapa orang, seperti Rijalun tidak termasul lafal umum.[2]

B.     Bentuk-bentuk lafazh ‘am
1.      Lafazh كل (setiap) dan جميع (seluruhnya).
Sebagai contoh, sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
كل راع مسؤول عن رعيّته
Setiap pemimpin diminta pertanggung jawaban terhadap[ yang dipimpinnya.”

Contoh lain adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 29, :
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ ....  
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...”

Lafazh كل dan جميع tersebut diatas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.

2.      Lafazh jamak (plural) yang di ma’rifatkan dengan idhafah (إضافة) atau dengan alif lam jinsiyyah (ال الجنسيّه). sebagai contoh firman Allah dalam surat An-Nisa’ : 11
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ...
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu...”

Lafalz أولاد (anak-anak) dalam ayat diatas adalah jamaa’ dan dia adalah nakirah. Namun karena lafaz tersebut diidhafahkan kepada lafaz كم (kamu sekalian), mama ia menjadi ma’rifat. Karena lafaz tersebut menunjukkan atas semua satuan-satuan yang dapata dimasukkan ke dalamnya.
3.      Lafaz isim mufrad  yang dima’rifatkan dengan alif lam jinsiyyah.
Sebagai contoh firman Allah dalam surat al-Baqarah : 275
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# ....  
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...
Kedua lafaz البيع (jual beli) الربا dan (riba) adalah mufrad yang dima’rifatkan dengan alif lam jinsiyyah. Oleh karena itu keduanya adalah lafaz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
4.      Lafaz Asma’ al-maushul, seperti Ma (ما), al-ladzina (الذين), al-ladzi (الذى), allatiy (التى), al-la’iy (اللائى), dan lain sebagainya.
Sebagai salah satu contoh, firman Allah surat an-Nisa’ ayat 24:
¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ
“... Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian....”

Lafaz .. (sesuatu) dalam ayat tersebut adalah isim al-maushul. Oleh karena itu, ia adalah ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
5.      Asma’ al-Syarth, seperti من (barang siapa), (apa saja), dan أيما (yang mana saja.
Sebagai salah satu contoh, fiman Allah SWT surat al-baqarah : 272
$tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9Žöyz öNà6Å¡àÿRL|sù 4….
“… Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri …”

Lafazh ما (apa saja) dalam ayat tersebut adalah isim al-syarth. Oleh karena itu, ia adalah ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
6.      Asma’ al-istifham, seperti من (siapa), ماذا (apakah), dan متى (kapan)
Sebagai salah satu contoh, dirman Allah dalam surat al-anbiya’ : 59

Lafaz من (siapa) dalam ayat tersebut adalah isim al-istifham, oleh karena itu, ia adalam ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukka ke dalamnnya.
Ism al-nakirat dalam susuna kalimat Nafy (النفى = negatif)\sebagai contoh, sabda Nabi yang berbunyi :
لاهجرة بعد الفتح
“Tidak wajib hijrah setelah Mekkah ditaklukkan”

Lafaz هجرة (hijrah) adalah isim al-nakirat. Namun karena lafaz tersebut dalam susuna kalimat nafy, yang didahului olah لا al-nafy, maka lafaz هجرة mengandung arti umum, yaitu mencakup segala arti hirah. Baik hijrah dalam arti meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, maupun hijrah dalam arti meninggalkan larangan Allah menuju kepada ssesuatu yang diridhoi Allah.[3]

C.     Dilalah dan pengamalan ‘Amm
Jumhur ulama, diantaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafazh ‘am itu zhanny dalalat-nya atas semua satuan-satuan yang didalamnya. Demikian pula, lafazh ‘am, setelah ditakhsis, sisa satuan-satuannya juga zhanny dalalatnya, hingga terkenallah dikalangan mereka suatu kaidah ushuliyyat yang berbunyi :
ما من عام إلاّ خصص
“Setiap dalil yang ‘am harus di takhsis.”

Oleh karena itu ketika lafazh ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan  pen-takhsis-nya. Atas dasar pendapat jumhur ulama diatas, dapat dipahami bahwa lafazh ‘am itu, baik sebelum maupun sesudah di takhsis, Zhanny dalalatnya.
Berbeda dengan jumhur ulama, ulama Hanafiyah bberpendapat bahwa lafazh ‘am itu qath’iy dalalatnya selagi tidak ada dalil lain yang mentakhsisinya atas satuan-satuannya. Kaarena lafazh ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya tanpa terkecuali.[4]
            Di dalam buku lain dikatakan bahwa dilalah dan pengamalan ‘am adalah sebagai berikut :
a.          
اذا ورد العام على سبب خاص فاالعبرة بعموم اللفظ لابخصوص السبب
“Apabila ‘Amm datang karena sebab khas, maka yang dianggap adalah umumnya lafal, bukan khususnya sebab.”

Hal tersebut karena perintah ibadah kepada seluruh hamba Allah hanya dengan lafal yang datang dari syar’I, padahal lafal ini umum. Jika menjumpai suatu hadits Nabi SAW yang merupakan jawaban atas suatu pernyataan tiba-tiba kita lihat bahwa jawaban itu menggunakan perkataan (lafal) yang memberikan pengertian umum maka kita tidak usah mengembalikan pada sebab timbulnya hadits tersebut. Dalam hal ini, kita mengambil kesimpulan hukum dari hadits tersebut.
Contoh seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW. Katanya :
يا رسول الله إنا نركب البحر ونحمل معناالقليل من الماء فإن توضّأنابه عطسنا أفتوضّأ بماءالبحر فقال ص.م : هوالطهور ماؤه الحلّ ميتته.
Hai Rasulullah! Bahwasannya kita ini sedang mengarungi lautan, padahal kita hanya membawa air sedikit saja, dan bila kita berwudhu dengan air ini, tentu kita aka kehausan , apakah kita boleh berwudhu dengan air laut? Maka Nabi SAW bersabda, laut itu airnya suci dan binatangnya halal (dimakan).”  H.R. Tirmidzi

Jawaban itu seolah-olah diberika karena terpaksa (darurat), hingga andaikata tidak ada keadaan yang serupa, maka hukum air laut dan bangkai binatangnya tidak demikian. Namun, sesuai dengan kaidah diatas, maka pengertian jawaban Nabi SAW itu menunjukkan yang ‘Amm. Hukum itu berlaku dalam keadaan terpaksa ataupun tidak, meskipun timbulnya karena ada sebab yang khas, tetapi memberikan pengertian umum.
b.       
الخطاب الخاصّ بواحدة من الأمة يفيدالعموم حتى يدلّ الدليل على الخصوص
“ khitab yang khusus tertuju kepada seseorang dari seluruh umat

memberikan faedah menunjukkan umum, kecuali apabila diketahui ada dalil yang menunjukkan khusus bagi orang itu saja.”
            Kita sering menjumpai khitab yang ditujukan untuk seseorang saja yang berhubungan dengan suatu kejadian yang dialami oleh orang itu. Dalam hal ini, jika tidak dijumpai adanya dalil yang menentukan bahwa khitab itu hanya khusu untuk orang yang menerimanya saja, maka khitab tersebut berlaku untuk umum, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
إنّما قولى لإمرأة واحدة كقولى لمائةامرأة   (رواه الترمذى)
“Sesungguhnya perkataan yang tertuju kepada seorang wanita, sama seperti perkataanku terhadap seratus wanita.” H.R. Tirmidzi

Contohnya sabda Nabi SAW :
قد أنكحتكها بما معك من القرأن (رواه البخارى ومسلم)
“Aku telah menikahkan kamu kepadanya (wanita itu) dengan mahar Al-quran, artinya dengan mahar mengajar.” H.R. Bukhari dan Muslim

Meskipun khitab ini ditujukan kepada seseorang yang sedang melakukan pernikahan pada masa Nabi SAW. Tetapi khitab ini berlaku pula untuk umum, karena tidak ada dalil yang mengkhususkan untuk orang itu saja. Dengan demikian, memberi mahar dengan mangajar Al-quran, dianggap cukup memenuhi pembayaran mahar mahar yang merupakan kewajiban bagi orang yang melakukan akad pernikahan.
Lain pula khitab yang ditujukan kepada seseorang , kemudian terdapat dalil yang menentukan bahwa khitab itu khusus untuk orang yang dituju, misalnya sabda Nabi SAW yang ditujukan kepada Abu Burdah,tentang kurban dengan anak kambing yang belum cukup umurnya.
تجزءك ولا تجزئ أحدا بعدك (رواه البخارى ومسلم)
Kurban itu cukup bagimu, akan tetapi belum dianggap cukup bagi orang lain sesudah kamu.” (H.R Bukhari dan Muslim).

Khitab semacam itu, tidak berlaku untuk orang lain, karena ada dalil yang mengkhususkan, artinya tidak berlaku terhadap umum.
c.        
ذكر بعض أفرادالعام لموافق له فى الحكم لايقتضى الخصيص.
“Menyebut sebagian satuan lafal ‘am tersebut, tidak berarti menakhsiskan.”

                        Kita sering menjumpai dua macam khitab yang menetapkan hokum tentang satu hal. Khitab pertama menunjukkan umum, sedangkan khitab kedua menunjukkan khusus, yang isinya merupakan sebagian dari satuan lafal yang menunjukkan umum (khitab pertama). Apabila khitab kedua mengandung hukum yang sama dengan hukum yang terdapat pada khitab yang pertama maka khitab kedua itu tidak berarti mentakhsis khitab pertama, yakni keumuman khitab yang pertama itu tetap berlaku, misalnya
1.      Sabda Nabi SAW :
ايّما إهاب دبغ فقد طهر (رواه مسلم)
“Kulit (bangkai) apa saja yang sudah disamak tentu suci.” (H.R Muslim)

2.      Dilain kesempatan Nabi SAW bersabda lagi tentang kulit kambing Siti Maimunah, sebagai berikut :
دباغها طهورها (رواه إبن حبان)
“Disamaknya (kulit kambing Maimunah) adalah menjadikannya suci.” (HR Ibnu Hibban)

Hadits pertama menyatakan bahwa semua kulit hewan bisa suci apabila disamak, sedangkan hadits kedua ditujukan pada kulit kambing kepunyaan Maimunah, artinya menyatakan pengertian khusus, yakni hanya tertuju kepada kulit kambing. Sejalan dengan kaidah diatas, maka hadits kedua itu tidak berarti menakhsis umumnya hadits pertama.
d.       
العام بعد التخصيص حجّة فى الباقي
“lafal ‘am sesudah ditakhsis tetap menjadi hujjah bagi (satu-satuan) yang masih tertinggal.”

      Dalil ‘am sesudah ditakhsis masih berlaku bagi satuan lain, misalnya Firman Allah Q.S Al-a’raf : 32 :
ö@è% ô`tB tP§ym spoYƒÎ «!$# ûÓÉL©9$# ylt÷zr& ÍnÏŠ$t7ÏèÏ9

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya?”

Ayat ini ,menyatakan  bahwa semua perhiasan dibolehkan, kemudian ditakhsisnya cincin emas bagi orang laki-laki dengan hadits Nabi sebagai berikut :
أنّ النبي ص.م رأى خاتما من ذهب فى يد رجل فنزعه وطرحه وقل: يعمد أحدكم الى خمرة من نار فيجعلها فى يده. (رواه مسلم)

“Bahwasannya nabi SAW melihat cincin emas ditangan seoarang laki-laki, kamudian beliau mencabut dan diletakkannya, seraya bersabda, ‘Dengan sengaja salah seorang diantara kamu mengambil bara api neraka, maka jadikanlah ia ditangannya.” (HR Muslim)

e.       ..
العمل باالعام قبل البحث عن المخصّص لايجوز.
“Mengamalkan (dalil) ‘am sebelum menyelidiki yang menakhsis tidak dibolehkan.”

      Bolehkah kita mengamalkan dalil ‘am tanpa mencari dan menyelidiki dalil-dalil yang menakhsisnya?
      Menurut kaidah tersebuit diatas, kita tidak boleh mengamalkan dail-dalil ‘am tanpa menyelidiki terlebih dahulu dalil yang menkhsiskannya. Kita ketahui bahwa dalil-dalil syariah itu terdiri atas ayat-ayat Al-quran dan hadis-hadis yang letaknya tidak selalu beriringan antara satu sama lain yang memberikan pengertian umum dan yang khusus. Karena itu perlu adanya usaha untuk mencari dan membandingkan semua dalil syara’, terutama tentang dalil yang memberikan pengertian umum itu ditakhsis atau tidak.[5]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa ‘Am adalah suatu lafazh yang sengaja dikehendaki oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna  yang benar yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Bentuk-bentuk lafaz ‘am terdiri atas
1.      Lafazh كل (setiap) dan جميع (seluruhnya).
2.      Lafazh jamak (plural) yang di ma’rifatkan dengan idhafah (إضافة) atau dengan alif lam jinsiyyah (ال الجنسيّه).
3.      Lafaz isim mufrad  yang dima’rifatkan dengan alif lam jinsiyyah.
4.      Lafaz Asma’ al-maushul, seperti Ma (ما), al-ladzina (الذين), al-ladzi (الذى), allatiy (التى), al-la’iy (اللائى), dan lain sebagainya.
5.      Asma’ al-Syarth, seperti من (barang siapa), (apa saja), dan أيما (yang mana saja.
6.      Asma’ al-istifham, seperti من (siapa), ماذا (apakah), dan متى (kapan)

B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dari pembaca atas kekurangan yang tidak diketahui oleh penulis.


 


DAFTAR PUSTAKA


A Djazuli, (2000). Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Uman, Khairul., A Ahyar Aminudin, (2001), Ushul Fiqih II, Bandung : CV Pustaka Setia.


[1]  Prof. Drs. H.A Djazuli, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000) h. 331
[2]  Drs. Khairul Uman., Drs. H.A Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h. 61
[3]  op.cit, h. 332-335
[4]  ibid, h. 336
[5]  Drs. Khairul Uman., Drs. H.A Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h.74-80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar