1. 'AMM
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Islam merupakan agama yang bersih, dan didalamnya terdapat
berbagai macam aturan yang jika kita patuhi, maka akan menjadikan kita bersih
pula. Di dalam aturan tersebut ada perintah dan larangan. Dalam perintah dan
larangan juga ada berbagai macam ketentuan, yang terkadang bersifat qath’iy dan
dzhanniy.
Dalam pengambilan hukum (istinbath), diperlukan ketelitian
bagi masing-masing kita agar nantinya tidak salah mengambil hukum.
Ada berbagai macam cara pengambilan hukum, misalnya melalui
ijma’, qiyas, istihsan,
istishab, mashlahah mursalah, ‘urf, ‘am, dan lain sebagainya.
Sesuai dengan tuntutan akademik, maka di dalam makalah ini
penulis akan mencoba membahas mengenai ‘Am, yang mencakup tentang pengertian,
bentuk-bentuk, dan dalalahnya.
B.
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas di dalam
makalah ini adalah :
1.
Apa yang dimaksud dengan ‘Am?
2.
Bagaimana bentuk-bentuk lafaz ‘Am?
3.
Bagaimana dilalah ‘Am?
C.
Tujuan penulisan
Setelah membaca makalah ini, penulis berharapan agar pembaca dapat
memahami tentang :
1.
Untuk mengetahui defenisi atau pengertian ‘Am.
2.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk lafaz ‘Asm.
3.
Untuk mengetahui dilalah ‘Am.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Amm
Al-‘am adalah suatu lafazh yang sengaja dikehendaki oleh
bahasa untuk menunjukkan satu makna yang
benar yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam
jumlah tertentu.[1]
‘Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum. Sedangkan
menurut istilah ialah :
الفظ المستفرق لجميع مايصلح له بحسب وضع
واحد دفعة
“Lafal yang meliputi pengertian umum
terhadap semua yang tersasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut
sekaligus."
Dengan pengertian lain, al-‘am ialah
suatu perkataan yang memberi pengertian umum
dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak
terbatas, misalnya : Al-Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai
pengertian umum. Jadi, semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini,
sekali mengucapkan lafal Al-Insanberarti maliputi jenis manusia seluruhnya.
Dapat dimengerti keumuman itu menjadi sifat yang
pengertiannya mencakup segala yang dapat dimasukkan ke dalam konotasi lafal.
Sedangkan lafal yang hanya menunjukkan beberapa orang, seperti Rijalun tidak
termasul lafal umum.[2]
B.
Bentuk-bentuk
lafazh ‘am
1. Lafazh كل
(setiap) dan جميع (seluruhnya).
Sebagai contoh, sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
كل راع مسؤول عن
رعيّته
“Setiap pemimpin diminta pertanggung jawaban terhadap[ yang
dipimpinnya.”
Contoh lain adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 29, :
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ ....
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...”
Lafazh كل dan جميع
tersebut diatas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas
jumlahnya.
2.
Lafazh jamak (plural) yang di ma’rifatkan dengan idhafah
(إضافة) atau dengan alif lam jinsiyyah (ال الجنسيّه).
sebagai contoh firman Allah dalam surat An-Nisa’ : 11
ÞOä3Ϲqã
ª!$#
þÎû
öNà2Ï»s9÷rr&
...
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu...”
Lafalz أولاد (anak-anak) dalam ayat diatas
adalah jamaa’ dan dia adalah nakirah. Namun karena lafaz tersebut diidhafahkan
kepada lafaz كم (kamu sekalian),
mama ia menjadi ma’rifat. Karena lafaz tersebut menunjukkan atas semua
satuan-satuan yang dapata dimasukkan ke dalamnya.
3.
Lafaz
isim mufrad yang dima’rifatkan dengan
alif lam jinsiyyah.
Sebagai contoh firman Allah dalam surat al-Baqarah : 275
¨@ymr&ur
ª!$#
yìøt7ø9$#
tP§ymur
(#4qt/Ìh9$#
....
“Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba...
”
Kedua lafaz البيع (jual beli) الربا
dan (riba) adalah mufrad yang dima’rifatkan dengan alif lam jinsiyyah. Oleh
karena itu keduanya adalah lafaz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang
dapat dimasukkan kedalamnya.
4.
Lafaz
Asma’ al-maushul, seperti Ma (ما), al-ladzina (الذين),
al-ladzi (الذى), allatiy (التى),
al-la’iy (اللائى), dan lain sebagainya.
Sebagai salah satu contoh, firman Allah surat an-Nisa’ ayat 24:
¨@Ïmé&ur
Nä3s9
$¨B
uä!#uur
öNà6Ï9ºs
“... Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian....”
Lafaz .. (sesuatu) dalam ayat tersebut adalah isim
al-maushul. Oleh karena itu, ia adalah ‘am yang mencakup semua satuan-satuan
yang dapat dimasukkan kedalamnya.
5.
Asma’
al-Syarth, seperti من (barang siapa), (apa
saja), dan أيما (yang mana saja.
Sebagai
salah satu contoh, fiman Allah SWT surat al-baqarah : 272
$tBur
(#qà)ÏÿZè?
ô`ÏB
9öyz
öNà6Å¡àÿRL|sù
4….
“… Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu
sendiri …”
Lafazh ما (apa saja) dalam ayat tersebut adalah isim al-syarth. Oleh
karena itu, ia adalah ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat
dimasukkan kedalamnya.
6.
Asma’
al-istifham, seperti من (siapa), ماذا (apakah), dan متى (kapan)
Sebagai
salah satu contoh, dirman Allah dalam surat al-anbiya’ : 59
Lafaz من (siapa) dalam ayat tersebut adalah isim al-istifham, oleh
karena itu, ia adalam ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat
dimasukka ke dalamnnya.
Ism
al-nakirat dalam susuna kalimat Nafy (النفى = negatif)\sebagai contoh, sabda Nabi yang berbunyi :
لاهجرة بعد الفتح
“Tidak
wajib hijrah setelah Mekkah ditaklukkan”
Lafaz هجرة (hijrah) adalah isim al-nakirat. Namun karena lafaz tersebut
dalam susuna kalimat nafy, yang didahului olah لا al-nafy, maka lafaz هجرة mengandung arti umum, yaitu mencakup segala arti hirah. Baik
hijrah dalam arti meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, maupun
hijrah dalam arti meninggalkan larangan Allah menuju kepada ssesuatu yang
diridhoi Allah.[3]
C.
Dilalah
dan pengamalan ‘Amm
Jumhur ulama,
diantaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafazh ‘am itu zhanny dalalat-nya atas
semua satuan-satuan yang didalamnya. Demikian pula, lafazh ‘am, setelah
ditakhsis, sisa satuan-satuannya juga zhanny dalalatnya, hingga terkenallah dikalangan mereka suatu
kaidah ushuliyyat yang berbunyi :
ما من عام إلاّ خصص
“Setiap dalil yang ‘am harus di
takhsis.”
Oleh
karena itu ketika lafazh ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pen-takhsis-nya. Atas dasar pendapat jumhur
ulama diatas, dapat dipahami bahwa lafazh ‘am itu, baik sebelum maupun sesudah
di takhsis, Zhanny dalalatnya.
Berbeda
dengan jumhur ulama, ulama Hanafiyah bberpendapat bahwa lafazh ‘am itu qath’iy
dalalatnya selagi tidak ada dalil lain yang mentakhsisinya atas
satuan-satuannya. Kaarena lafazh ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada
di dalamnya tanpa terkecuali.[4]
Di dalam buku lain dikatakan bahwa
dilalah dan pengamalan ‘am adalah sebagai berikut :
a.
اذا ورد العام على سبب خاص فاالعبرة
بعموم اللفظ لابخصوص السبب
“Apabila
‘Amm datang karena sebab khas, maka yang dianggap adalah umumnya lafal, bukan
khususnya sebab.”
Hal
tersebut karena perintah ibadah kepada seluruh hamba Allah hanya dengan lafal
yang datang dari syar’I,
padahal lafal ini umum. Jika menjumpai suatu hadits Nabi SAW yang merupakan
jawaban atas suatu pernyataan tiba-tiba kita lihat bahwa jawaban itu
menggunakan perkataan (lafal) yang memberikan pengertian umum maka kita tidak
usah mengembalikan pada sebab timbulnya hadits tersebut. Dalam hal ini, kita
mengambil kesimpulan hukum dari hadits tersebut.
Contoh seorang sahabat bertanya kepada
Rasulullah SAW. Katanya :
يا رسول الله إنا نركب البحر ونحمل معناالقليل من الماء فإن
توضّأنابه عطسنا أفتوضّأ بماءالبحر فقال ص.م : هوالطهور ماؤه الحلّ ميتته.
“Hai Rasulullah! Bahwasannya kita ini
sedang mengarungi lautan, padahal kita hanya membawa air sedikit saja, dan bila
kita berwudhu dengan air ini, tentu kita aka kehausan , apakah kita boleh
berwudhu dengan air laut? Maka Nabi SAW bersabda, laut itu airnya
suci dan binatangnya halal (dimakan).”
H.R. Tirmidzi
Jawaban itu seolah-olah diberika karena terpaksa (darurat), hingga andaikata tidak ada
keadaan yang serupa, maka hukum air laut dan bangkai binatangnya tidak
demikian. Namun, sesuai dengan kaidah diatas, maka pengertian jawaban Nabi SAW
itu menunjukkan yang ‘Amm. Hukum itu berlaku dalam keadaan terpaksa ataupun
tidak, meskipun timbulnya karena ada sebab yang khas, tetapi memberikan
pengertian umum.
b.
الخطاب الخاصّ بواحدة من الأمة
يفيدالعموم حتى يدلّ الدليل على الخصوص
“ khitab yang khusus tertuju kepada
seseorang dari seluruh umat
memberikan faedah menunjukkan umum,
kecuali apabila diketahui ada dalil yang menunjukkan khusus bagi orang itu
saja.”
Kita
sering menjumpai khitab yang ditujukan untuk seseorang saja yang berhubungan
dengan suatu kejadian yang dialami oleh orang itu. Dalam hal ini, jika tidak
dijumpai adanya dalil yang menentukan bahwa khitab itu hanya khusu untuk orang
yang menerimanya saja, maka khitab tersebut berlaku untuk umum, sebagaimana
Nabi SAW bersabda :
إنّما قولى لإمرأة
واحدة كقولى لمائةامرأة (رواه الترمذى)
“Sesungguhnya perkataan yang tertuju
kepada seorang wanita, sama seperti perkataanku terhadap seratus wanita.” H.R.
Tirmidzi
Contohnya sabda Nabi SAW :
قد أنكحتكها بما
معك من القرأن (رواه البخارى ومسلم)
“Aku telah menikahkan kamu kepadanya
(wanita itu) dengan mahar Al-quran, artinya dengan mahar mengajar.” H.R. Bukhari dan Muslim
Meskipun khitab
ini ditujukan kepada seseorang yang sedang melakukan pernikahan pada masa Nabi
SAW. Tetapi khitab ini berlaku pula untuk umum, karena tidak ada dalil yang
mengkhususkan untuk orang itu saja. Dengan demikian, memberi mahar dengan
mangajar Al-quran, dianggap cukup memenuhi pembayaran mahar mahar yang
merupakan kewajiban bagi orang yang melakukan akad pernikahan.
Lain pula khitab yang ditujukan kepada seseorang , kemudian
terdapat dalil yang menentukan bahwa
khitab itu khusus untuk orang yang dituju, misalnya sabda Nabi SAW yang
ditujukan kepada Abu Burdah,tentang kurban dengan anak kambing yang belum cukup
umurnya.
تجزءك ولا تجزئ أحدا بعدك (رواه البخارى ومسلم)
“Kurban itu cukup bagimu, akan tetapi belum dianggap cukup
bagi orang lain sesudah kamu.” (H.R Bukhari dan Muslim).
Khitab semacam itu, tidak berlaku untuk orang lain, karena
ada dalil yang mengkhususkan, artinya tidak berlaku terhadap umum.
c.
ذكر بعض أفرادالعام لموافق له فى الحكم
لايقتضى الخصيص.
“Menyebut sebagian satuan lafal
‘am tersebut, tidak berarti menakhsiskan.”
Kita
sering menjumpai dua macam khitab yang menetapkan hokum tentang satu hal.
Khitab pertama menunjukkan umum, sedangkan khitab kedua menunjukkan khusus,
yang isinya merupakan sebagian dari satuan lafal yang menunjukkan umum (khitab
pertama). Apabila khitab kedua mengandung hukum yang sama dengan hukum yang terdapat pada khitab yang pertama maka
khitab kedua itu tidak berarti mentakhsis khitab pertama, yakni keumuman khitab
yang pertama itu tetap berlaku, misalnya
1. Sabda Nabi SAW :
ايّما إهاب دبغ فقد طهر (رواه مسلم)
“Kulit (bangkai) apa saja yang
sudah disamak tentu suci.” (H.R Muslim)
2.
Dilain kesempatan Nabi SAW bersabda lagi tentang
kulit kambing Siti Maimunah, sebagai berikut :
دباغها طهورها (رواه إبن حبان)
“Disamaknya (kulit kambing
Maimunah) adalah menjadikannya suci.” (HR Ibnu Hibban)
Hadits pertama menyatakan bahwa semua
kulit hewan bisa suci apabila disamak, sedangkan hadits kedua ditujukan pada
kulit kambing kepunyaan Maimunah, artinya menyatakan pengertian khusus, yakni
hanya tertuju kepada kulit kambing. Sejalan dengan kaidah diatas, maka hadits
kedua itu tidak berarti menakhsis umumnya hadits pertama.
d.
العام بعد التخصيص حجّة فى
الباقي
“lafal ‘am sesudah ditakhsis
tetap menjadi hujjah bagi (satu-satuan) yang masih tertinggal.”
Dalil
‘am sesudah ditakhsis masih berlaku bagi satuan lain, misalnya Firman Allah Q.S Al-a’raf : 32 :
ö@è%
ô`tB
tP§ym
spoYÎ
«!$#
ûÓÉL©9$#
ylt÷zr&
ÍnÏ$t7ÏèÏ9
Katakanlah:
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya?”
Ayat ini
,menyatakan bahwa semua perhiasan dibolehkan, kemudian
ditakhsisnya cincin emas bagi orang laki-laki dengan hadits Nabi sebagai
berikut :
أنّ النبي ص.م رأى خاتما من ذهب فى يد رجل فنزعه
وطرحه وقل: يعمد أحدكم الى خمرة من نار فيجعلها فى يده. (رواه مسلم)
“Bahwasannya
nabi SAW melihat cincin emas ditangan
seoarang laki-laki, kamudian beliau mencabut dan diletakkannya, seraya
bersabda, ‘Dengan sengaja
salah seorang diantara kamu mengambil bara api neraka, maka jadikanlah ia
ditangannya.” (HR Muslim)
e. ..
العمل
باالعام قبل البحث عن المخصّص لايجوز.
“Mengamalkan
(dalil) ‘am sebelum menyelidiki yang menakhsis tidak dibolehkan.”
Bolehkah kita mengamalkan dalil ‘am tanpa
mencari dan menyelidiki dalil-dalil yang menakhsisnya?
Menurut kaidah tersebuit diatas, kita
tidak boleh mengamalkan dail-dalil ‘am tanpa menyelidiki terlebih dahulu dalil
yang menkhsiskannya. Kita ketahui bahwa dalil-dalil syariah itu terdiri atas
ayat-ayat Al-quran dan hadis-hadis yang letaknya tidak selalu beriringan antara
satu sama lain yang memberikan pengertian umum dan yang khusus. Karena itu
perlu adanya usaha untuk mencari dan membandingkan semua dalil syara’, terutama
tentang dalil yang memberikan pengertian umum itu ditakhsis atau tidak.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa ‘Am adalah suatu
lafazh yang sengaja dikehendaki oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna yang benar yang dapat mencakup seluruh
satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Bentuk-bentuk lafaz ‘am terdiri atas
1. Lafazh كل (setiap) dan جميع
(seluruhnya).
2.
Lafazh jamak (plural) yang di ma’rifatkan dengan idhafah
(إضافة)
atau dengan alif lam jinsiyyah (ال الجنسيّه).
3.
Lafaz isim
mufrad yang dima’rifatkan dengan alif
lam jinsiyyah.
4.
Lafaz Asma’
al-maushul, seperti Ma (ما), al-ladzina (الذين), al-ladzi (الذى), allatiy (التى), al-la’iy (اللائى), dan lain
sebagainya.
5.
Asma’
al-Syarth, seperti من (barang siapa), (apa
saja), dan أيما (yang mana saja.
6.
Asma’
al-istifham, seperti من (siapa), ماذا (apakah), dan متى (kapan)
B. Saran
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dari pembaca atas kekurangan yang tidak
diketahui oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA
A Djazuli, (2000). Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
[1] Prof. Drs. H.A Djazuli, Ushul Fiqh (Metodologi
Hukum Islam), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000) h. 331
[2] Drs. Khairul Uman., Drs. H.A Ahyar Aminudin, Ushul
Fiqih II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h. 61
[5] Drs. Khairul Uman., Drs. H.A
Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h.74-80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar