Selasa, 16 Desember 2014

Makalah Ushul Fiqh - Khas

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Defenisi Khas dan Takhsis
Disamping lafal ‘am juga lafal khas, yaitu perkataan atau susunan yang mengandung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘am.
Lafal khas ini adakalanya dipergunakan untuk seseorang, barang, atau hal tertentu. Dengan demikian yang dimasud dengan khas adalah lafal yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan.[1]

إخراج بعض ما كان داخلا تحت العام و قصره على ما بقى
Al-takhsis ialah mengeluarkan sebagian daripada satuan-satuan yang masuk di dalam lafazal-‘am dan lafaz al-‘am itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada (yang tidak dikeluarkan dari ketentuan dalil ‘am) sesudah di takhsis.

Al-mukhasis adalah dalil yang menjadi dasar pegangan untuk adanya pengeluaran tersebut.[2]
Lafaz yang khas ialah : suatu lafaz yang diletakkan untuk menunjukkan suatu individu yang satu perseorangannya. [3]

B.     Bentuk-bentuk lafaz khas dan mukhasis
Mukahssis ada dua macam, yaitu mukhssis muttasil dan mikhassis munfasil.
1.      Mukhassis muttasil. Yaitu yang tidak berdiri sendiri, yakni maknanya bersangkutan dengan lafaz sebelumnya. Misalnya surat al-an’am ayat 151

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar

Susunan “janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa yang diharamkan Allah membuuhnya”, itu menunjukkan umum, artinya tidak boleh membunuh siapapun. “Melainkan dengan jalan yang benar”, yaitu qisas atau didalam pertempuran.

2.      Mukahassis munfasil. Yaitu lafal yang berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang memberikan pengertian umum.
misalnya surat al-a’raf ayat 31

“ Dan makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.”

Perkataan “makanlah ...” itu umum, yakni boleh makan apa saja yang kita kehendaki, tetapi keumuman ini telah di batasi oleh Allah dengan firmannya juga, sebagaimana berikut :

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah”(QS Al-baqarah : 173)

Ayat ini membatasi keumuman ayat 31 dari surat al-a’raf dan menentukan bahwa yang hharam itu hanya 4 macam makanan tersebut diatas. Pembatasan ini tidak terdapat pada satu  ayat dalam surat al a’raf ayat 31 melainkan terpisah (munfasil)

Yang termsuk mukhassis munfasil ialah :
a)      Ayat al-qur’an ditakhsis oleh ayat al-quran
b)      Hadis di takhsis oleh ayat al-quran
c)      Ayat al-quran di takhsis oeh hadis
d)     Hadis di takhsis oleh hadis.[4]

C.     Proses Takhsis
a.       Menakhsis al-quran dengan al-quran, seperti firman Allah SWT


“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”(QS Al-baqarah : 228)

Ayat ini memberikan pengertian umum, yaitu meliputi semua wanita yang dicerai, tetapi wanita-wanita yag sedang hamil di takhsis oleh ayat lain sebagai berikut :
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”(QS At-Thalaq : 4)

Begitu pila wanita-wanita yang belum bergaul, di takhsisi dengan ayat surat al-ahzab : 49) sebagai berikut :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd ÇÍÒÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”

b.      Menakhsisis al-quran dengan hadis :
Seperti firman Allah dalam surat an-Nisa : 11
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$#
“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.”

Ayat ini memberikan pengertian umum, baik islam meupun kafir, tetapi keumuman lafal “auladikum” (anak-anakmu) itu di takhsis dengan sebuah hadis yang menyatakan sebagai berikut :
لا يرث المسلم الكافر ولا يرث الكافر المسلم (رواه البخارى و مسام)
“Orang Islam itu tidak dapat menerima warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak menerima warisan dari orang islam.” (HR Bukhari dan Muslim)

c.       Menakhsis hadis dengan al-quran. Seperti hadis rasulullah :
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتّىيتوضّأ (رواه البخارى و مسلم)
“Allah tidak akan menerima shalat seorang dari kamu apabila berhadas sehingga berwudhu.” (HR bukhari dan Muslim)

Hadis ini memberikan pengertian umum untuk tidak udzur dalem berwudhdu meupun yang udzur baik dalam perjalanan maupun dalam keadaan sakit.
Kemudian keumuman hadis tersebut di takhsis oleh firmanAllah SWT surat an-nisa : 43 sebagai berikut :
4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

Menurut hadis tersebut diatas, dalam keadaan bagaimanapun juga, sahnya shalat harus dengan wudhu, artinya bersuci denga air dan ketentuan ini berlaku untuk semua orang ang akan menunaikan shalat. Kemudian hadis tersebut di takhsis dengan al-quran suran An-Nisa : 43 yang membolahkan tayamum bila dalam keadaan tidak mendapat air.

d.      Menakhsis hadis dengan hadis. Dalam hadis Bukhari dan Muslim, nabi Muhammad bersabda :
فيما سقت السماء العشر (رواه البخارى)
“Semua tumbuh-tumbuhan yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini memberikan pengertian umum, tetapi kemudian keumuman itu di tekhsis dengan hadis lain yang berbunyi sebagai berikut :
ليس فيما دون خمسه أوسوق صدقه (رواه البخارى و مسلم)
“Bagi tanam-tanaman yang kurang dari lima wasaq, tidak dikenakan zakat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keterangan lima wasaq : lebih kurang 1000 kg.

e.       Menakhsisi al-quran dengan ijma’. Seperti firman Allah sebagai berikut :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Jum’ah : 9)

Ayat ini berlaku untuk siapapun juga, artinya smu manusia terkena kewajiban Shalat jumat. Tetapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa orang-orang perempuan dan budak-budak tidak berkewajiban shalat jumat. Jadi, keumuman ayat tersebut di takhsis oleh ijma’, artinya ijma’ ini membatasi berlakunya kw\ewajiban shalat jumat  hanya kepada laki-laki dan orang merdeka.

f.       Menakhsis dengan qiyas.
Yang dimaksud disini adalh  mentakhsis al-quran atau hadis yang menunjukkan pengertian umum, dengan qiyas atau membatasi keumuman itu. Misalnya surat An-nur : 2, yaitu :
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,

Ayat ini berlaku untuk umum, meliputi orang-orang yang merdeka dan budak. Selanjutnya bagi budak perempuan kita dapat ayat al-quran yng menentukan hukuman mereka, yaiotu separoh dari apa yang berlaku bagi perempaun merdeka, sebagaiman firman Allah surat an-nisa’ : 25, yaitu :
÷bÎ*sù šú÷üs?r& 7pt±Ås»xÿÎ/ £`ÍköŽn=yèsù ß#óÁÏR $tB n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# šÆÏB É>#xyèø9$# .
“Dan apabila mereka(budak perempuan) melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka (dikenakan siksa) separoh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka.”

Ayat ini hanya ditujukan pada budak-budak perempuan, sedangkan pada budak laki-laki tidak ada ketentuannya. Karena itu, hukum untuk budak-budak laki-laki dipersamakan (diqiyaskan) dengan budak perempuan yaitu 50 kali dera, yakni separoh dari siksa orang yang merdeka. Jadi menakhsiskan surat An-Nur ayat 2 tentang budak laki-laki bukan dengan ayat al-quran atau hadis, melainkan dengan qiyas terhadap budak perempuan yang sudah ada ketentuan hukumnya sebagaimana tersebut dalam al-quran surat an-nisa : 25.
              Lafal khas terkadnag berbentu muthlaq yakni dengan tidak di-qaid-kan dengan suatu qaid, tetapi terkadang di-qaid-kan dengan suatu qaid yang dinamakan muqayyad, terkadang dalam bentuk amar (perintah), dan terkadang dalam bentuk nahi (larangan). Jadi, lafal khas ada empat bentuk, yaitu mutlaq, muqayyad, amar, dan nahi.[5]

D.    Dilalah lafaz khas
Kadang kala lafaz  yang khas datang secara mutlak, terlepas dari batasan apapun. Dan terkadang pula, ia datang dalam keadaan terikat oleh sutu batasan. Adakalanya ia datang dalam bentuk tuntutan untuk mengejakan, dan adakalanya ia datang dalam bentuk larangan dari mengerjakan. Dengan demikian mutlaq muqayyad, perintah, dan larangan termasuk dalam lafaz yang khusus.
Hukum lafaz yang khas secara garis besar adalah bahwasannya apabila ada nash syar’i, maka ia menunjukkan dengan dalalahnya yang qath’iy terhadap  maknanya yang khusus yang ditetapkan untuknya secara hakekat, sedangkan hukum bagi madlulnya (yang ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan dengan jalan zhann (dugaan kuat).
Kemudian apabila lafaz yang khas itu datang secara mutlak, maka dibawakan kepada kemutlakannya, dan apabila ia datang dalam keadaan terbatas, maka ia juga haarus dibawakan kepada pambatasannya.[6]
Lafal khas yang ditemui dalam nash diartikan sesuai dengan arti sebenarnya, selama tidak ditemukan dalil yang memalingkannya pada arti lain. Contohnya hukuman yang diajatuhkan kepada orang yang menuduh berbuat zina adalah 80 kali dera, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Namun apabila ditemukan dalil yang dapat memalingkan artinya pada arti lain, maka hukuman tersebut dilaksanakan sesuai dengan dilalah dari bukti itu.
Kalau lafal khas yang mutlak dalam nash lain diterangkan secara muqayyad, sedangkan pokok yang dibicarakan dan sebabnya sama, maka hukumnya sama. umpamanya dalam surat al maidah ayat 3 :
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah

Lafal darah disini, dibawakan dalam bentuk  mutlak dan dan lafal darah dalam surat al an-‘am ayat 145
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”

Sedangkan lafal darah di dalam ayat ini, dibawakan dalam bentuk muqayyad yakni darah yang mengalir. Maka lafal yang mutlaq dialihkan menjadi muqayyad.
Kalau kedua nash itu  berbeda hukumnya atau sebabnya, maka yang mutlak tatap berlaku mutlak dan dilaksanakan sesuai dengan pangartiannya.
Kalau lafal khas dalam bentuk amar atau berita yang mengandung arti amar maka perintah itu atau berita mengandung arti wajib.
Lafal nahi apabila dibawakan dalam bentuk khas atau dalam bentuk berita yang mengandung arti nahi, pengertiannya haram.[7]


[1] Khairul Uman., H.A Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h. 81
[2]  H.A Djazuli, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000) h. 345
[3] Abdul  Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, ( Semarang : Toha Ptra Group), h. 299
[4]  Khairul Uman., H.A Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h. 81-83
[5]  Ibid, h. 83-89
[6]  Abdul  Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, ( Semarang : Toha Ptra Group), h. 299
[7]  Op.cit, h. 90-92