BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Khas dan Takhsis
Disamping
lafal ‘am juga lafal khas, yaitu perkataan atau susunan yang mengandung arti
tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘am.
Lafal
khas ini adakalanya dipergunakan untuk seseorang, barang, atau hal tertentu.
Dengan demikian yang dimasud dengan khas adalah lafal yang tidak meliputi satu
hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan.[1]
إخراج بعض ما كان
داخلا تحت العام و قصره على ما بقى
Al-takhsis
ialah mengeluarkan sebagian daripada satuan-satuan yang masuk di dalam lafazal-‘am
dan lafaz al-‘am itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada (yang
tidak dikeluarkan dari ketentuan dalil ‘am) sesudah di takhsis.
Al-mukhasis
adalah dalil yang menjadi dasar pegangan untuk adanya pengeluaran tersebut.[2]
Lafaz
yang khas ialah : suatu lafaz yang diletakkan untuk menunjukkan suatu individu
yang satu perseorangannya. [3]
B. Bentuk-bentuk
lafaz khas dan mukhasis
Mukahssis
ada dua macam, yaitu mukhssis muttasil dan mikhassis munfasil.
1. Mukhassis
muttasil. Yaitu yang tidak berdiri sendiri, yakni maknanya bersangkutan dengan
lafaz sebelumnya. Misalnya surat al-an’am ayat 151
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar
Susunan “janganlah kamu membunuh
sesuatu jiwa yang diharamkan Allah membuuhnya”, itu menunjukkan umum, artinya
tidak boleh membunuh siapapun. “Melainkan dengan jalan yang benar”, yaitu qisas
atau didalam pertempuran.
2. Mukahassis
munfasil. Yaitu lafal yang berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang memberikan
pengertian umum.
misalnya surat al-a’raf ayat 31
“ Dan makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.”
Perkataan “makanlah ...” itu umum, yakni boleh makan apa saja yang kita kehendaki,
tetapi keumuman ini telah di batasi oleh Allah dengan firmannya juga,
sebagaimana berikut :
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah”(QS
Al-baqarah : 173)
Ayat ini membatasi keumuman ayat 31
dari surat al-a’raf dan menentukan bahwa yang hharam itu hanya 4 macam makanan
tersebut diatas. Pembatasan ini tidak terdapat pada satu ayat dalam surat al a’raf ayat 31 melainkan
terpisah (munfasil)
Yang termsuk mukhassis munfasil
ialah :
a) Ayat
al-qur’an ditakhsis oleh ayat al-quran
b) Hadis
di takhsis oleh ayat al-quran
c) Ayat
al-quran di takhsis oeh hadis
d) Hadis
di takhsis oleh hadis.[4]
C. Proses
Takhsis
a. Menakhsis
al-quran dengan al-quran, seperti firman Allah SWT
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'.”(QS
Al-baqarah : 228)
Ayat ini memberikan pengertian
umum, yaitu meliputi semua wanita yang dicerai, tetapi wanita-wanita yag sedang
hamil di takhsis oleh ayat lain sebagai berikut :
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”(QS
At-Thalaq : 4)
Begitu pila wanita-wanita yang
belum bergaul, di takhsisi dengan ayat surat al-ahzab : 49) sebagai berikut :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? (
£`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎh| ur %[n#u| WxÏHsd ÇÍÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”
b. Menakhsisis
al-quran dengan hadis :
Seperti firman Allah dalam surat
an-Nisa : 11
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& (
Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$#
“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan.”
Ayat ini memberikan pengertian
umum, baik islam meupun kafir, tetapi keumuman lafal “auladikum”
(anak-anakmu) itu di takhsis dengan sebuah hadis yang menyatakan sebagai
berikut :
لا يرث المسلم الكافر ولا يرث الكافر المسلم (رواه البخارى و
مسام)
“Orang Islam itu tidak dapat menerima warisan
dari orang kafir dan orang kafir tidak menerima warisan dari orang islam.” (HR Bukhari dan
Muslim)
c. Menakhsis
hadis dengan al-quran. Seperti hadis rasulullah :
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتّىيتوضّأ (رواه البخارى و
مسلم)
“Allah tidak akan menerima shalat
seorang dari kamu apabila berhadas sehingga berwudhu.” (HR bukhari dan
Muslim)
Hadis ini memberikan pengertian
umum untuk tidak udzur dalem berwudhdu meupun yang udzur baik dalam perjalanan
maupun dalam keadaan sakit.
Kemudian keumuman hadis tersebut di
takhsis oleh firmanAllah SWT surat an-nisa : 43 sebagai berikut :
4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3Ï÷r&ur 3
¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ
Dan jika kamu
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Menurut hadis
tersebut diatas, dalam keadaan bagaimanapun juga, sahnya shalat harus dengan
wudhu, artinya bersuci denga air dan ketentuan ini berlaku untuk semua orang
ang akan menunaikan shalat. Kemudian hadis tersebut di takhsis dengan al-quran
suran An-Nisa : 43 yang membolahkan tayamum bila dalam keadaan tidak mendapat
air.
d. Menakhsis
hadis dengan hadis. Dalam hadis Bukhari dan Muslim, nabi Muhammad bersabda :
فيما سقت السماء
العشر (رواه البخارى)
“Semua tumbuh-tumbuhan
yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh.”
(HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini memberikan pengertian
umum, tetapi kemudian keumuman itu di tekhsis dengan hadis lain yang berbunyi
sebagai berikut :
ليس فيما دون خمسه
أوسوق صدقه (رواه البخارى و مسلم)
“Bagi tanam-tanaman
yang kurang dari lima wasaq, tidak dikenakan zakat.”
(HR Bukhari dan Muslim).
Keterangan lima wasaq : lebih
kurang 1000 kg.
e. Menakhsisi
al-quran dengan ijma’. Seperti firman Allah sebagai berikut :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4
öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS
Al-Jum’ah : 9)
Ayat ini berlaku
untuk siapapun juga, artinya smu manusia terkena kewajiban Shalat jumat. Tetapi
para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa orang-orang perempuan dan budak-budak
tidak berkewajiban shalat jumat. Jadi, keumuman ayat tersebut di takhsis oleh
ijma’, artinya ijma’ ini membatasi berlakunya kw\ewajiban shalat jumat hanya kepada laki-laki dan orang merdeka.
f. Menakhsis
dengan qiyas.
Yang dimaksud disini adalh mentakhsis al-quran atau hadis yang
menunjukkan pengertian umum, dengan qiyas atau membatasi keumuman itu. Misalnya
surat An-nur : 2, yaitu :
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (
Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera,
Ayat ini berlaku untuk umum,
meliputi orang-orang yang merdeka dan budak. Selanjutnya bagi budak perempuan
kita dapat ayat al-quran yng menentukan hukuman mereka, yaiotu separoh dari apa
yang berlaku bagi perempaun merdeka, sebagaiman firman Allah surat an-nisa’ :
25, yaitu :
÷bÎ*sù ú÷üs?r& 7pt±Ås»xÿÎ/ £`Íkön=yèsù ß#óÁÏR $tB n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÆÏB É>#xyèø9$# .
“Dan apabila mereka(budak perempuan) melakukan
perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka (dikenakan siksa) separoh hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka.”
Ayat ini hanya ditujukan pada
budak-budak perempuan, sedangkan pada budak laki-laki tidak ada ketentuannya.
Karena itu, hukum untuk budak-budak laki-laki dipersamakan (diqiyaskan) dengan
budak perempuan yaitu 50 kali dera, yakni separoh dari siksa orang yang
merdeka. Jadi menakhsiskan surat An-Nur ayat 2 tentang budak laki-laki bukan
dengan ayat al-quran atau hadis, melainkan dengan qiyas terhadap budak
perempuan yang sudah ada ketentuan hukumnya sebagaimana tersebut dalam al-quran
surat an-nisa : 25.
Lafal
khas terkadnag berbentu muthlaq yakni dengan tidak di-qaid-kan dengan suatu
qaid, tetapi terkadang di-qaid-kan dengan suatu qaid yang dinamakan muqayyad,
terkadang dalam bentuk amar (perintah), dan terkadang dalam bentuk nahi
(larangan). Jadi, lafal khas ada empat bentuk, yaitu mutlaq, muqayyad, amar,
dan nahi.[5]
D. Dilalah
lafaz khas
Kadang kala lafaz
yang khas datang secara mutlak, terlepas dari batasan apapun. Dan
terkadang pula, ia datang dalam keadaan terikat oleh sutu batasan. Adakalanya ia
datang dalam bentuk tuntutan untuk mengejakan, dan adakalanya ia datang dalam
bentuk larangan dari mengerjakan. Dengan demikian mutlaq muqayyad, perintah,
dan larangan termasuk dalam lafaz yang khusus.
Hukum lafaz yang khas secara garis besar adalah
bahwasannya apabila ada nash syar’i, maka ia menunjukkan dengan dalalahnya yang
qath’iy terhadap maknanya yang khusus
yang ditetapkan untuknya secara hakekat, sedangkan hukum bagi madlulnya (yang
ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan dengan jalan zhann (dugaan kuat).
Kemudian apabila lafaz yang khas itu datang secara
mutlak, maka dibawakan kepada kemutlakannya, dan apabila ia datang dalam
keadaan terbatas, maka ia juga haarus dibawakan kepada pambatasannya.[6]
Lafal
khas yang ditemui dalam nash diartikan sesuai dengan arti sebenarnya, selama
tidak ditemukan dalil yang memalingkannya pada arti lain. Contohnya hukuman
yang diajatuhkan kepada orang yang menuduh berbuat zina adalah 80 kali dera,
tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Namun apabila ditemukan dalil yang
dapat memalingkan artinya pada arti lain, maka hukuman tersebut dilaksanakan
sesuai dengan dilalah dari bukti itu.
Kalau
lafal khas yang mutlak dalam nash lain diterangkan secara muqayyad, sedangkan
pokok yang dibicarakan dan sebabnya sama, maka hukumnya sama. umpamanya dalam surat al maidah ayat 3 :
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah”
Lafal darah disini, dibawakan dalam bentuk mutlak dan dan lafal darah dalam surat al
an-‘am ayat 145
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9Í\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah.”
Sedangkan lafal darah di dalam ayat ini, dibawakan
dalam bentuk muqayyad yakni darah yang mengalir. Maka lafal yang mutlaq
dialihkan menjadi muqayyad.
Kalau kedua nash itu
berbeda hukumnya atau sebabnya, maka yang mutlak tatap berlaku mutlak
dan dilaksanakan sesuai dengan pangartiannya.
Kalau lafal khas dalam bentuk amar atau berita yang
mengandung arti amar maka perintah itu atau berita mengandung
arti wajib.
Lafal nahi apabila
dibawakan dalam bentuk khas atau dalam bentuk berita yang mengandung arti nahi,
pengertiannya haram.[7]
[1] Khairul Uman.,
H.A Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001)
h. 81
[2] H.A Djazuli, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum
Islam), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000) h. 345
[4] Khairul Uman., H.A Ahyar Aminudin, Ushul
Fiqih II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h. 81-83
[5] Ibid, h. 83-89
[7] Op.cit, h. 90-92